Sebuah Realita

Pada waktu itu saya lupa akan hari dan tanggal tepatnya saya berada pertama kali di moda transportasi umum yang bernama kereta api listrik (KRL). Sebagai seorang mahasiswa tentu saja identik dengan keadaan yang serba nge-pas dan berkecukupan. Tentu saja kiriman orang tua hanya cukup untuk makan dan keperluan hidup sehari-hari dan keperluan kuliah. Namun, bosan rasanya setelah berhari-hari berjibaku dengan buku, kampus, dan dosen, apabila saya tidak mencuri-curi kesempatan untuk menikmati sejenak suasana akhir pekan.

Pilihan saya jatuh untuk mengunjungi Jakarta. Ya, Jakarta Ibu Kota Republik berpenduduk 200 juta lebih. Maklum sebagai seorang wong Ndeso, tentu ingin lah melek metropolitan.

Banyak sekali hal-hal yang aneh, janggal, dan ironi yang saya temui selama perjalanan mulai dari asrama tempat saya tinggal. Hal yang pertama yang saya lihat adalah betapa gigihnya para abang-abang supir angkot dalam mencari penumpang. Saya juga melihat jalan yang sempit dan macet hanya karena dipenuhi oleh angkot.

Bogor, memang sudah sejak lama di sebut kota hujan. Namun nampaknya juga laik disebut sebagai kota seribu angkot. Apabila anda pernah atau memang penduduk bogor tentu sangat akrab dengan dominasi angkot di jalan-jalan raya Bogor. Bagi anda yang ingin ikut bercerita silakan saja kirimkan cerita anda ke blog ini.

Terlihat juga peraturan yang telah dibuat untuk mengatur masyarakat kalah dengan peraturan yang telah dibuat oleh perut. Lihat, bagaimana dengan tanpa rasa bersalah banyak para pengguna jalan khususnya "angkot" dengan enaknya melanggar peraturan rambu-rambu lalu lintas seperti, larangan berhenti, parkir dan sebagainya hanya demi urusan perut. Memang hal ini hanya sebagian kecil potret kehidupan republik ini yang belum lepas dari kemiskinan dan kemelaratan. Dimana terjadi suatu disorientasi pembangunan yang menyebabkan tidak meratanya pembangunan. Sehingga hasil pembangunan hanya dinikmati hanya oleh sebagian orang dari sekian banyaknya penduduk negeri ini. Maka yang saya lihat tidak jauh dengan kesan kemiskinan yang kumuh, tidak teratur, tidak tertata dan telah mengikis kepedulian kita.

Langkah kaki saya mendorong untuk melihat hal yang sangat mengiris hati dan jujur saja saya marah, dan tidak tega untuk melihat bagaimana ditengah hiruk pikuk kota dengan kesibukanya dan di tengah himpitan bangunan-bangunan niaga seperti mal-mal yang mewah, terlihat para kaum-kaum yang ter-marjinalkan karena kemiskinan sehingga mereka mengharap belas kasihan dari orang-orang yang masih mempunyai kepedulian dan sedikit harta untuk berbagi dengan saudaranya yang membutuhkan. Banyak cara guna merangsang rasa iba dan belas kasihan mulai dari membawa anak-anak di bawah umur lalu mempertontonkan cacat tubuhnya, lalu ada pula para anak-anak yang seharusnya menghabiskan masanya untuk belajar dan bermain, malah dengan terpaksa atau tidak mereka harus menantang maut mengadu nasib naik dari satu angkot turun dari angkot yang tengah melaju lalu mengamen dan bernyanyi dengan suara sumbangnya demi mendapatkan rupiah.

Sampailah saya pada suatu tempat tujuan saya, yaitu Stasiun Kota Bogor. Sebuah stasiun yang akan mengantarkan saya ke tujuan saya. Sebuah stasiun yang jauh dari rasa nyaman. Karena walaupun sebuah stasiun kreta keadaan stasiun ini tak ubahnya seperti sebuah pasar. Keadaan pun akan sama jika kita melanjutkan perjalanan kita menggunakan KRL Ekonomi, dalam gerbong yang sempit ini berbagai macam pedagang hilir mudik, berlalu-lalang menawarkan barang daganganya, banyak juga para musisi gerbong yang dengan peralatan seadanya bernyanyi ditengah deru bunyi kereta. Yang sangat mencolok tentu saja para penumpang KRL ini. Para penumpang yang mengharapkan transportasi yang aman, nyaman, dan tentu saja murah. Para penumpang yang kehidupanya tidak bias lepas dari KRL Ekonom, para pedagang, mahasiswa, dan pelajar. Serta masih banyak lagi.

Pemandangan yang terlihat selama perjalanan pun tidak lekang dari keadaan kumuh dan miris. Banyaknya pemukiman penduduk yang kumuh, jauh dari kesan rapi, indah, dan sehat karena bangunan yang saling berimpitan, sanitasi pun tidak usah dipertanyakan seburuk mana sanitasinya. Terlihat juga gerak ekonomi mikro masyarakat kota pinggiran di tengah menggilanya libelisasi ekonomi yang telah meminggirkan pasar-pasar tradisional, yang telah menggilas para pedagang bermodal kecil. Selama saya perjalanan masih melihat para pedagang-pedagang kecil menggunakan tempat seadanya di pinggiran rel kereta untuk berjualan, lagi-lagi kepentingan perut mengalahkan logika dan otak serta mengabaikan keslamatan diri sendir.

Sebuah secuil rekaman realita yang berada di negeri kita, sebagian kecil keadaan yang nyaris sama di seantero negeri yang dikenal gemah ripah loh jinawi yang telah berubah arti,……

0 comments:

Copyright © 2008 - KRL Ekonomi - is proudly powered by Blogger
Blogger Template